- Skema pertama adalah konsep negara yang saya pahami dari UUD 1945 yang asli sebelum amandemen.
- skema kedua adalah konsep negara yang saya pahami dari UUD 1945 yang telah diamandemen
- skema ketiga adalah skema yang saya pahami dari hisbut tahrir.
konsep negara ala UUD 1945 Asli |
MPR kemudian memegang kendali atas eksekutif, legislatif dan yudikatif. namun sayangnya majelis permusyawaratan juga terdiri dari legislatif, sehingga terjadi lopping kekuasaan disana, kalau bahasa orang PLN ada korsleting disana wkwk. lopping kekuasaan tidak terlalu terasa saat masa era sukarno, karena memang tidak pernah ada MPR, yang ada hanya MPR Sementara. MPR Sementara menyiratkan bahwa sampai saat itu belum terbentuk infrastuktur yang memadai untuk membentuk MPR Defenitif sehingga sifat MPR ini hanya sementara. daripada tidak ada sama sekali.
dampak Lopping Kekuasaan ini sangat terasa pada era orde baru, dimana Utusan Golongan didefinisikan sebagai GOLKAR. sementara Golongan karya dianggap juga sebagai perwakilan rakyat sehingga menjadi bagian dari lembaga Legislatif. hal ini mengantarkan Soeharto menjadi presiden seumur hidup (jika tidak ada Reformasi).
seharusnya hal ini diperbaiki dengan betul-betul memisahkan lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat dengan lembaga legislatif negara.
sayangnya Reformasi hanya ditujukan untuk melengserkan Soeharto. tentu tindakan ini tidak Radikal. ibarat mencabut jamur tidak sampai ke akar-akarnya mengantarkan reformasi pada Amandemen UUD yang parsial. kesalahan tidak diperbaiki.
konsep negara ala UUD 1945/2002 |
MPR kini bahkan seperti lembaga yang tidak ada gunanya. hanya melantik presiden. itupun tidak diwajibkan. sementara eksekutif kini juga merupakan perwakilan rakyat layaknya legislatif. eksekutif dan legislatif kemudian tonjok-tonjokan karena posisi mereka sama, sama-sama perwakilan rakyat.
beruntung jika presiden terpilih mendapat dukungan mayoritas di DPR, jika tidak? program pemerintah tidak akan pernah jalan.
para wakil rakyat di eksekutif menyadari hal ini sepenuhnya. maka kesalahan ini kembali ditambal dengan UU pemilu dengan Ambang batas dukungan di DPR. dengan disahkannya UU ini, maka eksekutif memegang kendali penuh atas negara ini. ini terbukti dengan disahkannya UU Ormas tanpa perlawanan berarti di DPR. DPR kini tidak lebih dari kumpulan pejabat pemakan uang rakyat yang bertugas hanya menjadi dewan pemberi pendapat bagi kebijakan eksekutif. SBY harus turun tangan melobby Jokowi ke istana. yah jika pendapatnya ditolak apa boleh buat.
Hizbut Tahrir datang ke indonesia menawarkan sistem yang mereka sebut sistem alternatif. saya menyebut sistem alternatif yang frontal dan parsial, mengapa demikian? perhatikan bagan berikut.
bagan tersebut penulis dapat dari situs web yang tertulis dama gambar tersebut dan terdapat logo HTI di sudut kanan atas memang begitu adanya saat gambar ini penulis dapatkan dan tidak diedit barang sedikitpun. bisa jadi sistem tersebut bukan versi oficial dari HTI, namun kita hanya akan membahas bagan tersebut saja tanpa mempedulikan apakah oficial atau tidak. jika bingung melihat bagan tersebut, silahkan lihat bagan dibawah ini yang telah penulis sederhanakan menurut pemahaman penulis :
konsep negara ala Hizbut Tahrir |
dalam konsep ini agaknya rakyat tersenyum, konsep yang tidak sempurna di UUD 1945 diperbaiki oleh HTI. HTI menawarkan rakyat atau yang mereka sebut Ummat harus memiliki lembaga perwakilan. lembaga itu serupa dengan yang ditawarkan UUD 1945, yakni ada utusan daerah, ada utusan golongan yakni perwakilan ummat. perwakilan daerah dan perwakilan ummat melembaga menjadi perwakilan ummat, penulis masih gagal faham apa perbedaan antara perwakilan ummat dan perwakilan ummat hasil bersatu dengan perwakilan daerah. yang jelas sepertinya perwakilan ummat kedua terlihat seperti konsep MPR pada UUD 1945 asli. sampai disini setidaknya lembaga rakyat/ummat terpisah dengan lembaga negara/eksekutif.
setelah setengah konsep ini kedengaran baik, kini masuk ke pokok permasalahan. mari kita anggap saja perwakilan ummat ini sebagai MPR. MPR disini tidak punya wewenang apa-apa kepada eksekutif (dalam hal ini presiden atau khalifah) selain daripada sekedar memberi saran dan mengontrol saja. anggapan saya bahwa lembaga ummat ini terlihat sama dengan MPR lansung gugur, ternyata wewenang lembaga ummat tidak lebih besar daripada eksekutif. bahkan lebih kecil daripada DPR. ummat/rakyat masih kalah dengan pemerintah/negara. negara lebih berkuasa tentunya. kedaulatan kini tidak ditangan rakyat, melainkan ditangan khalifah.
lebih parah, dalam versi HTI, yudikatif berada tepat dibawah eksekutif, hal ini mengantarkan eksekutif, dalam hal ini khalifah kepada kekuasaan mutlak yang lebih besar daripada yang dimiliki orde baru. rakyat atau ummat, siap siap saja menderita lebih parah daripada yang terjadi pada masa orde baru di indonesia dalam naungan sistem HTI bilamana khalifah yang berkuasa tidak sesuai ekspektasi rakyat/ummat.
selain memang parsial dari bawaannya. ternyata juga mengadopsi kesalahan UUD 1945 amandemen. terlihat khalifah dipilih lansung oleh rakyat/ummat. sehingga baik eksekutif (khalifah) maupun legislatif (perwakilan ummat) sama sama merupakan wakil rakyat. semoga saja dalam sistem ini mereka tidak saling tonjok-tonjoan juga. haha.
tawaran HTI sebaiknya ditepiskan saja, karena tidak lebih baik daripada karya the founding father kita yang dituangkan dalam UUD 1945 asli.
solusi bangsa indonesia yang tepat menurut saya ya kembali ke UUD 1945 yang asli dan memperbaiki kesalahan kecil tentang komposisi MPR supaya tidak melibatkan DPR. menjadikan MPR sebagai murni lembaga rakyat yang mengendalikan negara, bukan bagian dari lembaga negara eksekutif yudikatif legislatif, tapi diluar dari itu dan mengatur itu semua. rakyat melalui permusyawaratan/perwakilan (MPR) memberikan garis-garis besar Haluan (kendali) kepada Negara agar negara tidak dapat menyakiti hati rakyat, dan negara menjadi alat yang tepat untuk mencapai apa yang menjadi tujuan rakyat, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
jadi MPR itu semacam relay, tidak merupakan lembaga yang anggotanya digaji APBN. tapi lebih kepada forum pengambilan keputusan tertinggi. semacam kongres atau Munas kalau di partai. begitu menurut ekspektasi penulis. menurut UUD 1945 bahwa MPR bersidang 1 x dalam 5 tahun. kalau lebih itu sidang istimewa namanya, keputusan yang di ambil juga keputusan istimewa.
karena MPR hanya bersidang 1 x dalam 5 tahun, maka negara membutuhkan instruksi yang jelas dari rakyat untuk kurun waktu 5 tahun kedepan, jadi GBHN dibutuhkan agar negara tidak keluar dari ekspektasi rakyat. jika negara keluar dari koridor yang di tetapkan, rakyat boleh bersidang lagi di MPR sebagai sidang istimewa untuk meluruskan negara. inilah konsep yang ditawarkan the founding father kita menurut pemahaman penulis.
0 Comments